Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini kementrian kesehatan RI telah menyetujui 6 Lembaga Independen Pelaksana Akreditasi (LIPA) rumah sakit yaitu: KARS (Komisi akreditasi rumah sakit) , LAFKI (Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia), LARS-DHP (Lembaga Akreditasi Rumah Sakit Damar Husada Paripurna), LARS (Lembaga Akreditasi Rumah Saki , LAM-KPRS (Lembaga Akreditasi Mutu Keselamatan Pasien RS), LARSI (Lembaga Akreditasi Rumah Sakit Indonesia).

Pimpinan RS bebas untuk memilih LIPA tanpa harus takut kepada pihak manapun baik dari pemilik, pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat, termasuk afiliasi rumah sakit tersebut kedalam organisasi serumpun dalam mentukan / memilih LIPA di rumah sakitnya. Untuk itu Pimpinan RS tidak boleh salah dalam memilih LIPA.

Dilihat dari Namanya ada satu LIPA yang awalanya berbeda yaitu KARS, hal ini dikarenakan kars telah menjadi pelaksana akreditasi RS di Indonesia sejak tahun 1995 dan pada tahun 2020 telah disetujui oleh Kemenkes sebagai LIPA, selanjutnya menyusul 5 LIPA lainnya pada tahun 2021. Lipa juga bisa dilaksanakan oleh Lembaga internasional , sebagaimana yang sudah pernah dilakukan di Indonesia antara lain JCI (Join Comission International) dari Amerika dan ACHS (Australian Council on Helathcare Standards), namun terlebih dahulu harus ditetapkan oleh Pemerintah (Kemenkes) sesuai amant UU No 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit.

Pelaksanaan akreditasi sebagai mana dalam undang-undang tersebut dikatakan minimal 3 tahun satu kali, sedangkan kemenkes memberikan kebijakan yang dituangkan dalam Permenkes No 12 tahun 2020 tentang akreditasi RS pasal 3 ayat b , bahwa akreditasi RS dilakukan 4 tahun sekali.

Akreditasi Rumah Sakit yang selanjutnya disebut Akreditasi adalah pengakuan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa Rumah Sakit telah memenuhi Standar Akreditasi. Dalam pelaksanan akreditasi RS , LIPA harus menggunakan standar akreditasi RS , karena Standar Akreditasi adalah pedoman yang berisi tingkat pencapaian yang harus dipenuhi oleh rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien, pada saat ini LIPA wajib menggunakan standar akreditasi dari Keputusan Menteri Kesehata No 1128 tahun 2022.

Kasus Corona pertama di Indonesia muncul sejak 2 tahun lalu, yakni 2 Maret 2020. Sejak saat itu penambahan kasus harian di Indonesia mengalami pasang-surut selama 2 tahun terakhir. Kemunculan varian Delta, hingga terbaru Omicron turut mempengaruhi data kasus Corona di Indonesia. Terkini, kasus Corona di Indonesia selama 2 tahun terakhir berjumlah 5.564.448 kasus. Kejadian ini ( Pandemi ) menghentikan semua kegiatan akreditasi RS di Indonesia karena RS sangat disibukan dengan penangan pandemi belum lagi banyak tenaga kesehatan yg terpapar bahkan meninggal karena covid 19 sehingga dikeluarkan SE 455/2020 menyebabkan tidak adanya kegiatan akreditasi selama lebih dari 1,5 tahun, Pada tanggal 18 Februari 2022 Menteri Kesehatan menerbitkan SE 133 Tahun 2022 sebagai pengganti SE 455 Tahun 2020. Dengan ditetapkannya SE 133 tahun 2022 tersebut pelaksanaan akreditasi fasilitas kesehatan dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kondisi pandemi pada wilayah/daerah yang bersangkutan. Implikasi keluarnya SE No 133/2020 yaitu ; Pelaksanaan akreditasi daring dan/atau luring menyesuaikan situasi pandemi di daerah, Surat Pernyataan Komitmen dan Sertifikat Akreditasi dinyatakan masih berlaku 1 tahun terhitung SE ditetapkan, Surat Pernyataan Komitmen masih dapat dipergunakan untuk persyaratan kerjasama dengan BPJS sampai 1 tahun setelah SE ditetapkan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini Pimpinan RS dihadapkan pada situasi yang sangat berbeda dalam menghadapi akreditasi pada saat LIPA hanya satu yaitu KARS senelum pandemic dan saat ini ada 6 LIPA, tulisan ini sengaja dibuat sebagai bagian dari tips agar pimpinan menghindari potensi kesalahan dalam memilih LIPA, kesalahan pemilihan lipa memberikan kerugian bagi RS dan masyarakat pengguna jasa layanannya yg pada akhirnya mempunyai dampak terhadap kualitas pelayanan kesehatan bangsa Indonesia tercinta, karena pimpinan RS merupkan bagian dari pejuang bangsa yang ada pada saat ini untuk mendukung tujuan negara kita tercinta, beberapa kesalahan yag harus dihindari dalam pemilijan LIPA antara lain ;

  1. Memilih LIPA dengan cara POLLING
    Polling dilakukan oleh pimpinan RS karena bimbang dalam menentukan LIPA, dimana pimpinan RS mengumpulkan jajak pendapat kepada sejumlah karyawan , sehingga suara yang diberikan bisa atas pertimbangan professional , tapi sangat mungkin banyak yang memberikan suara karena asal-asalan tanpa alasan karena ketidak tahunan tentang LIPA yang adat , atau terkadang responden sekedar memili atau hanya ingin coba-coba saja, sehingga hasil polling sangat mungkin untuk tidak valid dalam pengambilan keputusan, untuk itu sebaiknya pimpinan RS menghindari cara poling dalam pengambilan keputusan pemilihan LIPA
  2. Terpengaruh oleh janji-janji LIPA untuk dmudahkan kelulusannya
    Informasi yang sangat keliru yaitu dihembuskannya berita dimana LIPA tertentu akan lebih mudah lulus akreditasi bahkan akreditasi paripurna, hal ini sangat menyesaatkan , karena setiap LIPA harus professional dalam memberikan keputusan survei akreditasi, sehingga setiap LIPA membekali surveiornya dengan sangat baik untuk tidak melanggar kode etik surveyor, karena dalam merekrut surveior , dilakukan seleksi yang ketat, karena LIPA tidak diperbolehkan memberikan janji apapun terhadap RS dalam pelaksanaan akreditasi, memudah-mudahkan keluusan secara tidak langsung merusak mutu pelayanan dan menipu bangsanya sendiri. Pimpinan RS yang berjiwa kebangsaan tidak memilih LIPA yang menjajikan kemudahan dalam kelulusan.
  3. Mengikuti arahan Lembaga yg berafiliasi
    Kata Independent dalam LIPA memberikan penekanan bahwa LIPA harus professional tanpa membeda-bedakan atas rumah sakit yang berafiliasi dengan LIPA tertentu, hal ini tentu saja melanggar aturan KKN yang sedang ditegakan oleh bangsa Indonesia, arahan atau pemaksaan RS terhadap Lembaga tertentu karena atas afiliasinya merupakan pelanggaran etik dan norma yang ada, semestinya pemerintah mengatur hal ini agar tidak terjadi pemilihan lipa atas paksaan baik secara halus mauoun terang-terangan, inii harus dihindari karena akan terjadi ketidakharmonisan hubungan antara RS dengan LIPA yang ada, termasuk pada pelaksananya dan tentu saja merugikan bangsa
  4. Memandang negatif terhadap LIPA tertentu
    Memandang negative terhadap LIPA tertentu harus dihindari oleh pimpinan RS, prasangka apapun alasannya tidak dapat dilakukan oleh pimpinan RS dalam pengambilan keputusan karena prasangka sangat diwarnai pendapat pribadii atau bisa jadi atas pengalaman atau berita yang belum tentu benar dalam menilai LIPA, agar tidak memandang negative terhadap lipa tertentu pelajarilah dengan baik lipa tersebut, bila perlu lakukan konsultasi atau audiensi.
  5. Berprasangka buruk terhadap LIPA tertentu
    Berprasangka buruk terhadap LIPA sangat tidak baik bagi pimpinan RS, prasangka itu merupakan perilaku yang tidak objektif dan tidak professional, terkadang karena berita yang salah, atau karena isu-isu yang sengaja dihembuskan oleh sekelompok orang atau organisasi tertentu untuk menjelekan lipa lainya itu yang dapat menyesatkan , dalam kode etik lipa , semestinya tidak diperbolekan saling menyerang untuk merebut pasar, , bila ini dilakukan sangat lah rendah martabatnya karena tidak professional, hal ini bahkan merugikan diri sendiri
  6. Mengikuti hawa nafsunya atas kepentingan pribadi
    Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut. Dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan, kekuasaan, dan lainnya.hawa nafsu dalam pengambilan keputusan organisasi sebaiknya tidak bersifat dominan, karena terkadap keputusan yang diambil bisa saja salah , semakin banyak keputus yang diambil atas pendapat banyak orang yang terlibatt dalam tim akan lebih baik.
  7. Pimpinan RS takut terhadapan tekanan dari luar
    Keputusan kementrian kesehatan dan amanah negara melalui undang-undang sudah jelas, bahwa pelaksa akreditasi harus dilakukan secara professional oleh Lembaga indopenden, artinya pimpinan RS tidak boleh dibawah tekanan baik langsung maupun tidak langsung , baik secara halus maupun terang-terangan agar pimpinan RS memilih lipa tertentu, hal ini sangat tidak diperboleh adanya orang tertentu atau Lembaga tertentu memaksa RS tertentu untuk memilih LIPA tertentu, untuk itu pimpinan RS tidak boleh takut dengan adanya ancaman atau tekanan dari manapun dalam memilih LIPA. Tentu saja sebaliknya siapapun tidak diperbolehkan memberikan tekanan kepada pimpinan RS, untuk itu penyelenggara pemerintah harus melakukan pengawasan
  8. Mencari kemudahan dengan mengabaikan mutu RS
    Tekadang ada pimpinan RS yang memikirkan yang penting mudah, yang penting lulus, hal ini sangat meruginan keselamatan pasien dan mutu RS sifak ini tidak terpuji dan merugikan bangsa dan masyarakat , kerugian mutu RS dapat mengancam keselamatan pasien dan juga provider
  9. Mengganggap LIPA tertentu Mahal
    Informasi tentang LIPA tertentu itu mahal merupakan isu yang sengaja dipropagandakan agar LIPA tertentu tidak menjadi pilihannya, hal ini salah besar karena pada saat ini biaya akreditasi besaranya sudah di atur dalam KMK No 1129 tahun 2022 , sehingga apapun LIPA yang dipilih harganya sama, untuk pelaksanaan akreditasi mahal salah satunya disebabkan karena pada saat pembangunan atau perencanaan sumberdaya tidak dilaksakan dengan baik dan benar, sehingga pada saat akan menghadapi akreditasi harus melakukan upaya persiapan berlebih-lebihan dalam memperbaiki sarana dan prasarana serta sumber daya yang ada, untuk itu pimpinan RS harus melalukan upaya perencanaan yang memenuhi regulasi yang ada. Jangan mengkumulatifkan biaya persiapan dengan biaya akreditasi, karena dari dulu biaya akreditasi hamper sama dengan standar biaya yang ada sekarang . (IZn – persi.or.id)